Banda Aceh — Pemerintah daerah diminta tidak lagi menunda langkah mitigasi dan kesiapsiagaan menghadapi bencana hidrometeorologi basah. Eskalasi bencana yang menimbulkan dampak masif, khususnya di wilayah Sumatra, harus menjadi peringatan serius bagi seluruh kepala daerah untuk bertindak lebih cepat, terukur, dan berbasis regulasi.
Penegasan tersebut disampaikan Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Akhmad Wiyagus dalam rapat koordinasi apel kesiapsiagaan bencana hidrometeorologi basah yang dipimpin Menko PMK Pratikno, Senin (29/12/2025), dan dihadiri Kepala BNPB serta Kepala BMKG.
Wamendagri menegaskan bahwa dari sisi regulasi, penanganan bencana telah memiliki landasan hukum yang kuat, mulai dari UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, hingga Perpres Nomor 87 Tahun 2020 tentang Rencana Penanggulangan Bencana 2020–2044.
“Regulasinya sudah jelas. Yang dibutuhkan sekarang adalah keberanian kepala daerah untuk mengimplementasikan, terutama dalam mitigasi dan kesiapsiagaan,” ujar Wiyagus.
Berdasarkan data BNPB periode 2015–2024, terdapat 70 kabupaten/kota dengan risiko bencana hidrometeorologi tinggi. Dari jumlah tersebut, 12 daerah masuk kategori Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) tinggi dan 58 daerah berisiko sedang. Kondisi ini diperberat oleh perbedaan kapasitas fiskal daerah.
“Daerah dengan risiko tinggi tetapi kemampuan fiskalnya rendah harus mendapat perhatian lebih dalam penguatan kesiapsiagaan,” tegasnya.
Untuk mendukung daerah, Kemendagri telah menerbitkan sejumlah surat edaran strategis, termasuk edaran kesiapsiagaan menghadapi bencana hidrometeorologi, kesiapsiagaan Natal 2025 dan Tahun Baru 2026, serta edaran pergeseran APBD dan pemanfaatan Belanja Tidak Terduga (BTT) yang diterbitkan pada 26 Desember 2025.
“Pemda tidak perlu ragu menggunakan BTT untuk tanggap darurat. Dasar hukumnya sudah jelas,” kata Wiyagus.
Dalam rapat tersebut terungkap, dari 38 provinsi, baru 11 provinsi yang telah melaksanakan apel kesiapsiagaan bencana. Sementara dari 514 kabupaten/kota, baru 135 daerah yang melaksanakan apel serupa. Kemendagri mendorong daerah lain segera menyusul dan melaporkan pelaksanaannya.
Wiyagus juga menekankan pentingnya pemanfaatan teknologi dan penyebarluasan informasi cuaca BMKG hingga ke tingkat terbawah. Ia mencontohkan praktik di Kabupaten Sumedang yang menyebarkan peringatan cuaca melalui grup WhatsApp hingga tingkat RT/RW.
“Informasi cuaca harus disampaikan cepat dan masif. Ketika hujan lebat terjadi lebih dari satu jam, seluruh jajaran pemda harus memahami risikonya dan segera mengingatkan masyarakat,” ujarnya.
Selain itu, Kemendagri tengah merevisi regulasi kelembagaan BPBD agar ke depan dipimpin langsung oleh kepala badan, bukan pelaksana tugas, guna memperkuat komando dan efektivitas pengambilan keputusan.
Menutup arahannya, Wiyagus menyampaikan instruksi Mendagri agar kepala daerah segera menggelar apel siaga bencana, memetakan wilayah rawan banjir dan longsor, menyiapkan logistik dan peralatan, memperkuat edukasi serta simulasi kebencanaan, dan melakukan normalisasi sungai serta perbaikan infrastruktur.
“Korban jiwa dan kerusakan yang meluas harus menjadi evaluasi mendasar. Jangan lagi mengabaikan mitigasi. Keselamatan masyarakat harus menjadi prioritas utama,” pungkasnya.
