Merawat Akal di Era Algoritma

Oleh: Mohamad Ali Murtadho *

Kolom “Dunia tanpa Akal” karya Gus Zuem (Radar Jombang, 16 Juni 2025) adalah refleksi yang jernih dan menggelitik hati nurani. Ia bukan sekadar catatan ringan, tetapi sebuah alarm lembut atas realitas digital yang sering kita anggap sepele. Gus Zuem, dengan mengacu pada pidato Mendikdasmen Prof. Abdul Mu’thi dan buku World Without Mind karya Franklin Foer (2017), mengajak kita untuk menengok satu persoalan besar: apakah akal kita masih bekerja merdeka di tengah ledakan teknologi informasi?

Foer, sebagaimana dikutip Gus Zuem, menunjukkan betapa perusahaan raksasa teknologi saat ini bukan hanya menyediakan layanan yang mempermudah hidup, tetapi juga mengarahkan bagaimana kita berpikir, memilih, bahkan memahami dunia. Dengan kekuatan algoritma, informasi yang kita lihat dipersonalisasi sedemikian rupa sehingga kita hanya menerima apa yang ingin kita lihat—bukan apa yang seharusnya kita ketahui. Inilah yang oleh banyak penulis disebut sebagai “filter bubble” atau gelembung algoritma: kondisi di mana ruang pandang kita makin sempit karena disusun oleh mesin, bukan oleh nalar.

Saya sepenuhnya sepakat dengan kegelisahan Gus Zuem. Dalam kenyamanan personalisasi digital, kita justru kehilangan kesanggupan untuk berpikir luas dan kritis. Kita merasa bebas, padahal sedang diarahkan. Kita merasa punya pilihan, padahal telah dipetakan secara algoritmik. Ini bukan sekadar kehilangan informasi, tapi pemiskinan kesadaran.

Lebih mengkhawatirkan, kondisi ini mengikis kemampuan dasar manusia untuk mencerna informasi secara mendalam. Ketika konten viral lebih banyak berbasis sensasi ketimbang substansi, dan ketika ceramah keilmuan hanya dinikmati dalam potongan dua menit tanpa konteks, maka nalar publik pun perlahan terdegradasi. Literasi kita bergeser dari membaca, menjadi hanya melihat. Dari berpikir, menjadi hanya menyukai dan membagikan.

Dalam konteks ini, ajakan Gus Zuem agar literasi digital menjadi prioritas pendidikan adalah sangat tepat. Bukan hanya tentang kecakapan teknis, tetapi justru membangun ketahanan akal di tengah derasnya informasi. Kita perlu mengajarkan kepada generasi muda bukan hanya cara menggunakan teknologi, tetapi bagaimana menyeleksi informasi, menyaring opini, dan merawat daya berpikir secara jernih dan adil.

Demikian pula dengan perlunya regulasi negara terhadap dominasi perusahaan teknologi. Negara tidak boleh sekadar menjadi penonton dalam arus besar ini. Ada tanggung jawab moral untuk melindungi ruang berpikir publik dari manipulasi algoritmik yang menguntungkan entitas bisnis global. Teknologi yang tidak diatur dengan bijak, pada akhirnya akan menjadikan manusia sebagai objek eksploitasi data belaka.

Budaya membaca, berdiskusi, dan merenung harus kita pulihkan sebagai bagian dari upaya melawan hegemoni teknologi yang memiskinkan nalar. Dalam dunia yang nyaris tanpa jeda, kita butuh ruang sunyi untuk memahami, bukan sekadar mengonsumsi. Kita butuh kehadiran guru, pustaka, dan percakapan tatap muka — sebagai penyeimbang dari realitas virtual yang serba instan.

Franklin Foer menyebut ini sebagai ancaman terhadap kebebasan berpikir. Gus Zuem menyebutnya “dunia tanpa akal.” Saya ingin menyebutnya sebagai masa depan yang sedang kita bentuk — dengan atau tanpa kesadaran. Jika kita tak mengambil sikap hari ini, maka generasi mendatang mungkin akan tumbuh dalam dunia yang sepenuhnya dikendalikan oleh sistem yang tidak lagi mempercayai kebebasan manusia.

Maka, keluar dari gelembung algoritma adalah bentuk jihad kecil kita hari ini: jihad untuk menjaga akal tetap merdeka, agar manusia tetap menjadi subjek, bukan sekadar statistik di dashboard perusahaan teknologi. Semoga tulisan Gus Zuem menjadi pintu awal perbincangan yang lebih luas dan lebih dalam..


* Mohamad Ali Murtadho, S.Kom., M.Kom, – Dosen Prodi Sistem Informasi Unipdu Jombang, Direktur Nusacomtech, Co-Founder Komunitas Sakti – Santri Melek Teknologi Indonesia, Wakil Sekretaris CSNU – Computer Society Of Nahdlatul Ulama.