Aceh — Pemerintah menegaskan bahwa penanggulangan bencana tidak lagi dapat bergantung pada pemerintah pusat semata. Pemerintah daerah diminta memperkuat kesiapsiagaan, berani menetapkan status siaga maupun tanggap darurat, serta bertindak cepat melindungi masyarakat dari dampak bencana hidrometeorologi yang masih mendominasi sepanjang 2025.
Penegasan tersebut disampaikan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Suharyanto, dalam rapat koordinasi apel kesiapsiagaan bencana hidrometeorologi basah yang dipimpin Menko PMK Pratikno, Senin (29/12/2025).
Suharyanto mengungkapkan, dalam lima tahun terakhir (2021–2025), jumlah kejadian bencana di Indonesia konsisten berada di atas 3.000 per tahun. Meski pemerintah berhasil menekan korban jiwa dan kerusakan pada 2022 dan 2024, bencana besar akibat siklon tropis di tiga provinsi Sumatra pada 25–26 November 2025 kembali meningkatkan dampak secara signifikan.
“Peristiwa tersebut menyebabkan lebih dari 1.100 korban jiwa dan kerugian material hingga triliunan rupiah. Ini menunjukkan bahwa menurunkan dampak bencana bukan pekerjaan mudah,” tegasnya.
Berdasarkan data BNPB hingga 24 Desember 2025, tercatat 3.176 kejadian bencana di Indonesia, mayoritas berupa bencana hidrometeorologi basah seperti banjir, cuaca ekstrem, dan tanah longsor. Kondisi ini sejalan dengan peringatan BMKG terkait tingginya curah hujan pada akhir 2025 hingga awal 2026.
Dalam konteks tersebut, Suharyanto menekankan pentingnya penguatan kapasitas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Menurutnya, kepala BPBD harus memiliki kewenangan penuh agar pengambilan keputusan di lapangan dapat dilakukan secara cepat dan efektif.
“Jika kepala BPBD hanya pelaksana tugas atau dirangkap jabatan lain, kewenangannya bisa terbatas. Padahal dalam kondisi darurat, kecepatan eksekusi sangat menentukan keselamatan masyarakat,” ujarnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa hingga saat ini masih terdapat 23 kabupaten/kota di Sumatra berstatus tanggap darurat. Sementara wilayah lain telah memasuki fase transisi rehabilitasi dan rekonstruksi. Di luar Sumatra, daerah lain juga diminta tetap waspada, menyusul banjir besar yang sempat terjadi di Kalimantan Selatan serta genangan di sejumlah wilayah Jawa Barat.
BNPB menegaskan keberanian kepala daerah dalam menetapkan status siaga atau tanggap darurat sangat krusial. Penetapan status melalui kaji cepat justru mempercepat masuknya dukungan pusat, baik berupa logistik, peralatan, maupun pendanaan melalui dana siap pakai.
“Jangan ragu menetapkan status. Dengan SK siaga atau tanggap darurat, bantuan pusat bisa segera masuk. Regulasi sudah lengkap, tinggal keberanian mengambil keputusan,” tegasnya.
Dalam fase tanggap darurat, prioritas utama adalah pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat terdampak, terutama dalam 72 jam pertama atau minimal 48 jam, sambil menunggu dukungan lanjutan dari pemerintah pusat.
Selain itu, Suharyanto meminta pemda aktif melakukan patroli dan mitigasi di wilayah rawan, khususnya di daerah aliran sungai dan kawasan lereng. Jalur evakuasi, sistem drainase, serta komunikasi peringatan dini harus dipastikan berjalan efektif.
“Longsor dan banjir kerap terjadi tiba-tiba. Golden time sangat pendek. Jika hujan lebat berlangsung lebih dari tiga jam, warga di lereng dan bantaran sungai harus segera dievakuasi,” ujarnya.
Menutup arahannya, Suharyanto menegaskan bahwa kesiapsiagaan bencana merupakan tanggung jawab bersama. Sinergi pemerintah daerah, TNI, Polri, kementerian/lembaga, serta partisipasi aktif masyarakat menjadi kunci menekan risiko dan dampak bencana, khususnya pada periode Natal dan Tahun Baru serta awal 2026.
“Mudah-mudahan ke depan tidak ada lagi bencana besar. Peristiwa di tiga provinsi Sumatra harus menjadi pelajaran bersama,” pungkasnya.
