Kisah Nenek Siti, Pelukan Hangat di Tengah Terjangan Banjir Aceh

Jakarta — Di antara deretan tenda pengungsian Kampung Bundar, Aceh Tamiang, suara tawa seorang nenek terdengar ringan, memecah kesunyian siang yang lembap. Dialah Siti Safura, warga terdampak banjir yang kini menjalani hari-harinya di posko pengungsian.

Usianya telah menginjak 80 tahun. Rambutnya memutih, namun semangat hidupnya masih menyala—seolah enggan tunduk pada usia maupun bencana yang datang tiba-tiba. Wajahnya tampak tenang, sesekali dihiasi senyum hangat. Dengan tangan renta namun cekatan, ia merapikan daster yang dikenakannya.

Meski rumahnya terendam banjir, Nenek Siti berusaha menjalani hari dengan hati lapang. Di pengungsian, ia tetap menyapa siapa pun yang lewat, berbagi cerita, dan sesekali melempar candaan kecil.

Hari itu, Minggu (28/12/2025), Posko Pengungsian Kampung Bundar yang berada di sekitar Kantor Bupati Aceh Tamiang tampak lebih ramai dari biasanya. Sejumlah pejabat datang meninjau langsung kondisi warga terdampak. Di antara rombongan tersebut hadir Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi), Meutya Hafid.

Bagi Nenek Siti, kunjungan tersebut bukan sekadar agenda resmi. Ia menyisakan kesan yang membekas di hatinya.

“Tadi ketemu Ibu Menteri. Sudah, sudah. Senang. Kami salaman,” ucapnya sambil mengangguk-angguk kecil. Raut wajahnya langsung berubah cerah ketika mengenang momen itu.

Ia mengaku sempat penasaran dengan sosok menteri yang disebut berasal dari Jakarta. “Saya tanya ke rombongan, mana ibu dari Jakarta tadi,” tuturnya. Tak lama kemudian, Menteri Meutya Hafid menghampirinya.

“Terus Ibu Menteri bilang, ‘Inilah Bu,’” lanjut Nenek Siti, menirukan percakapan singkat tersebut.

Yang terjadi setelahnya benar-benar di luar dugaan. Di tengah kesibukan kunjungan, sang Menteri justru memeluknya erat. “Langsung saya dipeluk sama Bu Menteri. Peluk-peluk, cium-cium pipi,” kata Nenek Siti lirih, matanya berbinar.

Pelukan itu terasa hangat dan menenangkan—sebuah penguat di tengah situasi sulit, seolah memberi pesan bahwa ia tidak sendiri menghadapi bencana ini.

Di usia senjanya, Nenek Siti masih terlihat sehat dan energik. Tutur katanya jelas, tubuhnya relatif tegap, dan semangatnya terpancar dalam setiap cerita. Ia mengaku bersyukur masih diberi kesehatan untuk bertahan di tengah kondisi darurat.

Saat ditanya mengenai bantuan pemerintah, jawabannya tegas dan tanpa ragu. “Pemerintah baik. Saya sudah banyak dapat,” ujarnya mantap.

Ia menyebutkan berbagai bantuan yang telah diterimanya. “Sudah dapat beras, telur, mi instan. Kalau makanan sudah cukup,” katanya. Kebutuhan kesehatan pun tak luput dari perhatian. “Obat juga dapat,” tambahnya singkat, penuh rasa syukur.

Bagi Nenek Siti, bantuan tersebut bukan sekadar barang. Bantuan itu menjadi bukti perhatian dan kepedulian yang menguatkan batin. Di pengungsian, hari-harinya dijalani dengan sederhana—beristirahat, berbincang dengan sesama pengungsi, dan sesekali bercanda dengan relawan.

Perbaikan juga mulai terasa pada fasilitas komunikasi. Jaringan telekomunikasi yang sempat terganggu akibat banjir kini berangsur pulih. “Telepon HP bagus. Sekarang di sini sudah bisa telepon,” ujarnya sambil tersenyum lega.

Hal sederhana itu membawa kebahagiaan besar. Kini, ia dapat kembali menghubungi keluarga yang berada di luar kota. “Ngobrol-ngobrol sama keluarga sudah bisa?” katanya sambil tertawa kecil. “Bisa, lah. Bisa, lah,” jawabnya yakin.

Di balik tubuh renta dan langkah yang tak lagi sekuat dulu, Nenek Siti menyimpan ketangguhan luar biasa. Banjir memang mengubah rutinitas hidupnya, namun tidak menghilangkan rasa syukur dan harapan.

Kisah Nenek Siti adalah potret kecil dari ribuan warga Aceh Tamiang yang terdampak banjir. Di tengah bencana, kemanusiaan menemukan jalannya—melalui perhatian, kepedulian, dan sentuhan sederhana yang mampu menguatkan hati, terutama bagi mereka yang telah menua bersama waktu.