Jakarta — Banjir yang melanda Kabupaten Aceh Tamiang pada akhir November 2025 memaksa ribuan warga meninggalkan rumah mereka. Air yang menggenang tidak hanya merendam permukiman, tetapi juga memutus aktivitas harian masyarakat. Sawah terendam, akses jalan terganggu, dan roda ekonomi ikut tersendat.
Namun, di balik deretan tenda pengungsian dan lumpur yang belum sepenuhnya surut, kehidupan perlahan mencari jalannya sendiri. Roda perekonomian di Aceh Tamiang tidak sepenuhnya berhenti.
Di salah satu sudut lokasi pengungsian, terdengar suara khas gunting yang beradu pelan. Di sanalah Syarifudin (41), seorang tukang pangkas rambut, tetap membuka usahanya di tengah keterbatasan. Dengan peralatan sederhana dan cermin seadanya, Syarif—sapaan akrabnya—melayani warga yang ingin merapikan rambut.
“Sudah tiga tahun jadi tukang pangkas rambut,” ujar Syarif sambil tersenyum di sela-sela pekerjaannya, di Kejuruan Muda, Aceh Tamiang, Minggu (28/12/2025).
Tangannya terlihat cekatan merapikan rambut pelanggan. Profesi itu telah ia tekuni jauh sebelum banjir datang. Kini, meski harus tinggal di pengungsian bersama orang tua dan adiknya, Syarif memilih tetap bekerja.
Usaha pangkas rambutnya baru kembali berjalan sekitar satu minggu terakhir, setelah kondisi pengungsian mulai lebih tertata. Pelanggannya belum banyak. Dalam sehari, ia hanya melayani sekitar dua hingga tiga orang—jauh dari kondisi normal, ketika ia biasa melayani 15 hingga 20 pelanggan per hari.
Namun bagi Syarif, jumlah bukanlah persoalan utama. Yang terpenting adalah tetap berusaha.
“Yang penting masih bisa kerja, walaupun sedikit,” katanya lirih, namun mantap.
Di tengah proses pemulihan pascabencana, usaha kecil seperti yang dijalankan Syarif menjadi tanda bahwa denyut ekonomi masyarakat Aceh Tamiang masih terus berputar, meski pelan.
Di pengungsian, Syarif menyesuaikan tarif jasanya. Untuk pelanggan dewasa, ia mematok harga Rp15.000. Sementara untuk anak-anak, ia memilih menggratiskan jasanya.
“Kasihan warga, terutama anak-anak. Mereka juga lagi susah,” ujarnya.
Padahal, dalam kondisi normal, tarif pangkas rambutnya mencapai Rp25.000 hingga Rp30.000 untuk orang dewasa dan sekitar Rp20.000 untuk anak-anak.
Kehidupan di pengungsian memang tidak mudah. Syarif dan keluarganya masih bergantung pada bantuan yang disalurkan pemerintah melalui posko-posko pengungsian. Ia mengaku menerima bantuan berupa beras, telur, selimut, tikar, hingga nasi kotak—bantuan yang sangat membantu memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.
Meski begitu, Syarif tidak ingin sepenuhnya bergantung pada bantuan. Baginya, bekerja adalah bentuk ikhtiar sekaligus menjaga martabat diri.
“Bantuan ada, tapi saya tetap berusaha supaya bisa dapat uang sendiri,” ujarnya dengan senyum tipis dan semangat yang tak surut.
Keputusan Syarif untuk tetap membuka usaha di tengah pengungsian memberi dampak lebih dari sekadar ekonomi. Kehadirannya juga menghadirkan rasa normal di tengah situasi darurat. Kursi pangkas sederhana itu menjadi ruang kecil bagi warga untuk berbincang, berbagi cerita, dan sejenak melupakan dampak banjir.
Apa yang dilakukan Syarif mencerminkan ketangguhan masyarakat Aceh Tamiang. Banjir boleh datang dan merusak, tetapi semangat untuk bangkit tidak ikut hanyut.
Syarif pun menyimpan harapan yang sama seperti warga lainnya. Ia berharap kondisi segera membaik, air benar-benar surut, dan masyarakat bisa kembali ke rumah masing-masing.
“Semoga cepat normal lagi, supaya pelanggan makin banyak dan pendapatan meningkat,” tuturnya.
Di tengah bencana, kisah Syarif menjadi pengingat bahwa denyut ekonomi dan semangat hidup masyarakat Aceh Tamiang masih terus berdenyut—perlahan, sederhana, namun pasti menuju pemulihan.
