Pemerintah tengah mengakselerasi upaya peningkatan kualitas dan kesejahteraan para pendidik di Indonesia, termasuk guru berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), maupun guru honorer.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, menyatakan bahwa percepatan ini merupakan wujud nyata dari komitmen Presiden Prabowo Subianto dalam memperbaiki kesejahteraan dan kapasitas para pendidik di Indonesia. Hal ini diungkapkan dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada 2 Mei 2025.
Menurut Abdul Mu’ti, Presiden sebelumnya telah mengambil langkah signifikan dengan meningkatkan tunjangan bagi guru ASN PPPK dan guru honorer yang telah mengantongi sertifikasi pendidik. Namun tidak berhenti di situ, pemerintah juga akan segera menyalurkan bantuan langsung kepada guru honorer yang belum memiliki sertifikasi pendidik.
“Presiden tidak hanya memperhatikan guru yang telah tersertifikasi, baik yang berstatus PNS, PPPK, maupun honorer. Guru honorer yang belum mendapatkan sertifikat pendidik pun akan menerima insentif bulanan yang langsung dikirim ke rekening masing-masing,” jelas Abdul Mu’ti.
Selain bantuan insentif tersebut, percepatan juga menyasar aspek kualifikasi pendidikan para guru. Pemerintah akan memberikan bantuan biaya pendidikan bagi para guru yang belum memiliki gelar sarjana (S1) atau diploma empat (D4). Menurut Menteri Mu’ti, program ini merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden Prabowo saat peringatan Hari Guru Nasional tahun 2024.
Langkah ini dinilai sebagai tindakan konkret untuk menjamin bahwa tidak ada guru yang tertinggal dari hak-haknya sebagai tenaga profesional maupun dari pengembangan kompetensinya. Untuk itu, pemerintah menyiapkan bantuan senilai Rp3 juta per semester bagi guru yang sedang menempuh pendidikan untuk meraih gelar S1 atau D4.
Pada kesempatan yang sama, Abdul Mu’ti mengungkapkan data mengejutkan, yaitu bahwa hingga Hari Guru Nasional tahun 2024, masih terdapat sekitar 295 ribu guru di Indonesia yang belum mengantongi gelar sarjana. Padahal, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah menetapkan bahwa kualifikasi minimal guru adalah pendidikan sarjana.
Fakta ini mencerminkan berbagai alasan yang melatarbelakangi kondisi tersebut, di antaranya karena sebagian guru awalnya mengajar tanpa niatan menjadikannya sebagai profesi utama, sehingga belum memenuhi kualifikasi akademik. Ada pula yang terkendala oleh faktor geografis, di mana akses untuk melanjutkan pendidikan tinggi sangat terbatas. Sebagian lainnya terganjal oleh masalah ekonomi, yang membuat mereka tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang S1 atau D4.
Menteri Mu’ti menegaskan bahwa kementeriannya terus berupaya membuka akses pendidikan lanjutan bagi para guru agar dapat memenuhi syarat kualifikasi akademik secara bertahap.
Ia juga menyampaikan harapannya agar berbagai langkah yang telah ditempuh, termasuk penyaluran tunjangan sertifikasi sejak Maret lalu serta bantuan bagi guru honorer, mampu meningkatkan semangat dan motivasi para pendidik dalam mengajar dan mencerdaskan generasi bangsa. (tnz)